Derita Janda Korban Konflik,Terbantai Dalam ‘Syahwat’ Setelah Perang

Posted: Maret 2, 2014 in Kisah Usai Perang
Tag:, , , ,

INGATACEH.WORDPRESS.COM– Kesejahteraan untuk rakyat dan korban konflik, boleh saja di gembar-gemborkan oleh pemerintah berkuasa baik dalam pidato maupun di media massa. Namun kenyataan belum lah tentu demikian.

Salah satu bukti di alami oleh Nurhayati (63) tahun warga daerah Gampong Kilo Meter VIII kecamatan Simpang Keuramat Aceh Utara, rumahnya hangus setelah ditinggal mengungsi era 2000 silam. Delapan kali sudah proposal diajukan ke BRA kabupaten Aceh Utara. Sekian uang diberikan untuk orang yang memberi harapan untuknya. Namun hingga tahun 2013 rumah yang nanti tak kunjung datang.

Kawasan itu merupakan salah wilayah basis Gerilyawan GAM Pasee, tidak heran desa yang ditempati Nurhayati yang langsung berhadapan dengan perkebunan dan hutan itu menjadi salah satu sasaran operasi pencarian Gerilyawan GAM oleh TNI.

Warga disana ikut terkena imbas operasi militer tersebut. Beberapa kali warga disana mengungsi ketempat yang lebih aman. Upaya pemisahan GAM dan masyarakat pun dilakukan TNI saat itu. Sejumlah wargapun di ungsikan. Termasuk Nurhayati.

Dia bersama suaminya Zulkifli dan anaknya serta sejumlah warga desa lain terpaksa meninggalkan kebun rumah dan harta benda lainnya, untuk mengungsi ke daerah yang sudah ditunjuk yaitu lapangan sepakbola Reuleut.

Selama dalam pengungsian ia tidak pernah menjenguk rumah dan harta benda yang ditinggalkan. Cerita kontak tembak dan kematian mewarnai berita didalam pengungsian saat itu. ,” sijeh ka keunong timbak, sinyo ka ji drop,” itulah bisik-bisik hari –hari para pengungsi bersama warga lain.

Tekanan batin dan ketakutan juga menjadi makanan sehari –hari para pengungsi, kenapa tidak? Bukan tidak mungkin setiap orang yang tertangkap dan dianggap terlibat GAM pasti akan ditanya siapa warga yang ikut membantu, memberi makan atau memasok rokok ke hutan.

Apalagi warga dikawasan itu, jikapun tidak pernah memberi makan, pasti mereka kerap melihat laulintas Gerilyawan.

Jantung para pengungsi tidak pernah tenang. Saban hari mereka mengkhawatirkan keselamatan. ,” Apakah saya diambil (Tangkap) atau tidak? Atau saya dianggap terlibat atau tidak? Pertanyaan itupun selalu muncul didalam penungguan kapan akan berakhir hidup dibawah tenda?

Tidak ada yang bisa menjawab saat itu, semunya berdoa agar selamat dari keterancaman itu.

Terkadang untuk pelipur lara, para pengungsi kedatangan berita yang mungkin dapat sedikit menyenangkan hati, berita tersebar lewat frekwensi radio bergigi (Radio Meu Igo atau berita tidak jelas) bahwa petinggi (Red) diluar negeri sedang melaporkan situasi Aceh kepada pihak internasional, dan pasukan PBB akan datang membantu kita.

Lama di tunggu pasukan PBB pun tidak pernah muncul?

Sementara kematian dan penangkapan terus terjadi. Situasi semakin kacau, dan dikala itu pula Nurhayati menerima kabar buruk, bahwa rumah semi permanen yang ditinggal didesanya hangus dibakar. Entah siapa yang bakar!

Setelah kehilangan rumah tempat tinggal, di pengungsian Nurhayati kembali menghadapi cobaan lain, suaminya mulai sakit-sakitan, itu dipengaruhi oleh kondisi. Karena setiap mendengar ada kontak tembak dan ada orang yang di tangkap, ia langsung men-gusuk dada, pertanda berat. ”Bapak sakit jantung” Ujar Nurhayati dengan tatapan kosong.

Lama kelamaan penyakit yang dialami Zulkifli suami dari Nurhayati tidak menunjukkan tanda membaik. Dan Januari 2004, penyakit Zulkifli semakin parah, akhirnya ia menghembuskan nafas terakhir. Innalillahi Wa Inna Ilairajiun. Jenazah Zulkifli langsung di kebumikan di desa Reuleut tempat mereka mengungsi.

Tinggallah Nurhayati menjalani hidup dengan gadis simata wayangnya, Suryati (kini berumur 17 tahun) dan sejumlah warga lain didalam pengungsian, dan itu sampai ditanda tangani perjanjian damai 15 Agustus 2005.

Sekembali dari pengungsian ia tidak bisa bernafas lega, rumah semi permanen yang dibangun dari hasil keringat bersama alm suaminya tinggal pondasi. Semua isinya tidak tersisa.

Tidak ada pilihan bagi Nurhayati, hanya air mata yang menetes, tidak tahu harus mengadu kemana. Untuk membangun rumah lain masih jauh dari harapan. Akhirnya berkat kebaikan tetangga ia diajak untuk menumpang dirumah mereka.

Beriring damai berjalan, pemerintah Aceh membentuk sebuah badan untuk menangani persoalan Korban konflik, lembaga itu dinamakan Badan Reintegrasi Aceh (BRA), lembaga itu juga mengurus soal pemberian bantuan untuk korban konflik yang rumahnya terbakar.

Nurhayati ikut mengajukan agar rumahnya dibangun. Namun kali pertama ia mengajukan kepada pihak yang saat itu punya peran dan koneksi dengan BRA, dalam pengurusan itu ia diminta untuk menyediakan Rp. 500.000 katanya untuk biaya pengurusan rumah.

Uang sebesar itu tergolong berat bagi Nurhayati, namun demi untuk mendapatkan rumah, ia terpaksa berhutang sama tetangga, dan membayar dengan bekerja dikebun orang tersebut.

Namun rumah yang dijanjikan tak kunjung ada untuk Nurhayati.

Setelah kali pertama gagal, Nurhayati kembali berusaha untuk mengajukan kembali permohonan rumah, hingga 8 kali pengajuan dan terakhir melalui kepala desa. Setiap kali mengajukan ia selalu megeluarkan uang sampai Rp.500.000,-.

Namun hingga kini tahun 2013, rumah yang dimpikan karena statusnya korban konflik yang rumahnya terbakar tak kunjung terwujud.

Setelah sekian bulan menumpang, dan tidak nyaman dengan status menumpang, ia pun mulai mulai mengumpulkan sedikit demi sedikit uang dari bekerja upahan di kebun orang, akhirnya ia sanggup membangun rumah ukuran , 3 x 6 meter beratap rumbia dengan dinding kayu lapuk dan beralaskan tanah.

Rumah yang serba darurat itu secara perlahan dimakan usia, kini kondisi atap nya mulai bocor, dinding ada yang sudah tercabut dan dimakan rayap. Sementara bagian belakangnya terpaksa ditutupi dengan kertas tenda warna hitam, karena papan lapuk sudah terkupas dimakan usia.

Di usianya yang sudah renta Ibu Nurhayati (63) tinggal sendiri, sementara Suryati (17) anak simata wayangnya bersekolah di pusat kecamatan. Karena terbatas biaya, ia terpaksa tinggal di panti asuhan.

Kini, penderitaan Nurhayati bertambah, ia beberapa waktu lalu menderita penyakit Hernia dan setelah dilakukan operasi, giliran sesak mendera badannya.

Derita yang dialami Nurhayati hanya secuil dibandingkan dengan uang yang dikelola oleh Pemerintah Aceh pasca Damai, berdasarkan data yang dirilis Jaringan Peduli Anggaran (JPA) Selasa 14 Mei 2013 lalu. Untuk dana otonomi khusus (Otsus) saja Aceh sejak tahun 2008 sampai 2013 mengelola sebesar Rp 27,3 triliun, belum lagi ditambah dengan dana-dana lain.

Jikapun begitu besar dananya, namun rumah Nurhayati yang dibakar saat konflik, belum juga tergantikan selayaknya sudah diterima oleh korban –korban lain maupun para oknum yang berhasil meng“Olah” dana tersebut walaupun tidak berhak.

Ia adalah salah satu potret buram dari masyarakat Aceh yang telah berjasa berkorban digaris depan dimasa perang. Dan pasca damai, ia terbantai dari sejumlah orang yang sedang berhura –ria menikmati kenikmatan dan ke-syahwatan kemegahan…!

Sumber : Acehbaru.com

Tinggalkan komentar