Reintegrasi dan Spirit Janda Konflik Aceh (1)

Posted: Maret 3, 2014 in Aceh Bangkit, Aceh Kini

INGATACEH.WORDPRESS.COM– Saya tidak sanggup membayangkan, mengapa dunia tempat kita berpijak ini senantiasa dipenuhi oleh hujan air mata, bermandikan darah, penuh dengan nyayian kepedihan, teriakan kesakitan, jeritan minta tolong dan jeritan kematian. Maraknya tindak kekerasan yang dilakukan secara individu maupun kolektif seolah menjadi tradisi baru, tradisi yang keluar atmosfir ketidakpastian dalam banyak hal di negari ini.

Perang dan konflik, yang salah satunya disebabkan oleh rangsangan pemikiran, telah menjadi ruang efektif untuk menghabiskan atau meminimalisir kuantitas dan kualitas manusia. Lihatlah kekerasan yang dipamerkan manusia abad ini, mulai dari sudut Balkan sampai ke wilayah tanduk Afrika, dari negara-negara latin seperti Kolumbia, sampai ke Fasifik seperti Fiji atau daratan Aborijin Australia.

Dari Asia Selatan seperti Srilangka hingga ke ke Chechnya di kawasan Kaukasus. Tetangga kita Thailand, Myanmar, Malaysia, Filipina dan dari Aceh, Jakarta sampai ke Papua. Kekerasan, tidak saja meneror hati nurani, tetapi juga semakin mendorong kita pada batas krusial antara zona kehidupan dan kematian peradaban bangsa.

Kita memang dipaksakan untuk menyaksikan berbagai kekejaman dan ketidakbenaran ini. Ketidakbeneran ini mesti dilawan sekuat tenaga oleh masing-masing generasi. Generasi yang cinta akan perdamaian. Aceh damai, Indonesia damai dan dunia juga damai, mengutip Karl May Dan Damai di Bumi: ”bawalah warta gembira ke seantero dunia, tetapi tanpa mengangkat pedang dan tombak, dan jika engkau bertemu rumah ibadah, jadikanlah ia perlambang damai antarumat”.

Dan Aceh menjadi salah satunya, yang telah ratusan tahun menjadi ladang subur eksperimen para aktor tangan besi yang haus darah. Berbagai data diperlihatkan bahwa perempuan menjadi komunitas paling dirugikan ketikan perang dan konflik berkecamuk. Wajar ketika dikatakan bahwa wajah kemanusiaa Aceh mengalami keretakan hebat; perempuan kehilangan suami, kemiskinan, anak-anak tanpa orang tua, kekerasan, pembunuhan menjadi bahasa verbal dan non verbal keseharian. Perempuan dan dara-dara rupawan terpaksa melawan dan bahkan mengangkat senjata dalam pasukan atau armada Inong Balee.

Pasukan yang asal mulanya di bentuk Oleh Srikandi Aceh Laksamana Keumalahayati saat perang dan konflik dengan Portugis pada masa pemerintahan Sultan Alaidin RiayatsyahAl-Mukammil, kalau tidak keliru antara tahun 1589-1604. Keumalahati telah membuktikan ketangguhan perempuan dalam berbagai bidang tak kecuali bidang kemiliteran.

Perempuan menjadi pasukan perang sudah biasa terjadi di bumi Aceh dalam mengkonstruksi realitas sejarahnya masing-masing. Mungkin bagi srikandi ini, kemungkinan untuk hidup di dalam rumah dan di luar rumah sama saja. ”Tak ada hormat terhadap jiwa manusia dan tak ada empati untuk menjaga manusia secara manusiawi”, ungkap Sulaiman Tripa suatu ketika di Banda Aceh.

Azhari, sastrawan Aceh yang menerima hadiah Free World Award pada bulan Mei 2005 lalu, menulis: ”Dan saya sebagai si terkutuk dilahirkan dan tumbuh di tanah yang buruk itu, namun saya begitu mencintai Aceh dengan segala alamnya yang elok dan masyarakat yang ramah untuk menyambung hikayat lama dan menyampaikan kepada dunia!”. Bagaimanapun kondisi dan situasi Aceh, yang jelas mereka telah mampu mengukir sejarah dalam mempertahankan identitas kebangsaan dan keagamaannya.

Saya berani mengatakan bahwa, dalam percaturan sejarah Aceh memberikan relatif banyak cerita khas tentang perempuan. Terutama tentang keterlibatan perempuan dalam aktifitas politik praktis dalam pemerintahan dan peperangan dalam mempertahan identitasnya. Aceh telah melahirkan perempuan-perempuan tangguh dan utama. Keberanian dan kesatriaan perempuan Aceh melebihi segala perempuan yang lain dalam mempertahankan kebangsaan dan keagamaan.

Kalau kita baca buku sejarah Aceh, salah satunya buku Wanita utama Nusantara dalam lintasan sejarah tahun 1994, Misalnya menyebutkan Ratu Pasai Malikah Nur Ilah yang mangkat tahun 1380, tidak saja menjadi raja Pasai tapi juga Kedah diseberang selat Malaka. Sekitar 585 tahun silam hidup seorang ratu penguasa tertinggi kerajaan Pasai, yaitu Ratu Nahrasiyah yang memerintah lebih dari 20 tahun, dengan monumen makam terindah di asia tenggara yang terdapat di Aceh Utara tepatnya Geudong Samudera Pasai sekarang.

Kemudian seorang perempuan yang memerintah kerajaan Aceh Darussalam lebih dari 35 tahun Tajul alam Safiatuddin Syah dari tahun 1641-1675 M. Setalah mangkat Ratu Tajul Alam Safiatuddin Syah pada hari Rabu 23 Oktober 1675, bukan kedudukan perempuan sebagai penguasa tertinggi di Kerajaan Aceh berakhir. Masih terdapat tiga perempuan lagi yang menjadi sultanah. Yaitu Sultanah Nurul Alam Naqiatuddin Syah (1675-1678), Ratu Inayat Zakiatuddin Syah (1678-1688) dan Ratu Kamalat Zainatuddin Syah (1688-1699).

Kalau kita menelusuri sejarah perlawanan Aceh terhadap kolonialisme dan imperialisme yang melibatkan banyak srikandi Aceh dalam bahasa Zengraaff menyebutkan ”Grandes Dames” (wanita-wanita besar) ketika melawan kolonialis Belanda antara tahun 1873-1942. Seperti Cut Nyak Dhien atau Cut Nyak Him yang bergelar Teuku di Bitai, kuburan beliau terdapat di Sumedang Jawa Barat, Cut Nyak Meutia Aceh Utara, Pocut Baren, Pocut Meurah Intan, Bagaimana Putro Phang mampu menginisiatifkan struktur lembaga perwakilan di Aceh yang mewajibkan penglibatan perempuan dan masih banyak terdapat perempuan-perempuan utama di Aceh yang terkadang tidak tercatat dalam sejarah di negeri ini.

Perempuan Aceh menjadi fenomenal. Perempuan Aceh dalam masyarakatnya sejak masa kerajaan Aceh Darussalam, dimasa perang, konflik atau damai, hingga sebelum dan sesudah tsunami adalah fenomena unik yang nyaris tak ada padanannya di tempat lain. Dalam sejarah dunia Islam, bahkan sejarah dunia secara umum, hanya di Aceh lah perempuan bisa berperan utama hingga menjadi sultan, legislator, panglima perang, dan admiral disamping terkenal lewat peran tradisionalnya.

Dalam sejarah Aceh kontemporer, perempuan menjadi pivot keberlanjutan komunitasnya dalam masa perang dan konflik serta bertahannya komunitas. Dan meraka mampu bertahan sampai saat ini, trend feminisme dan gender mereka kunyah dengan landasan akidah dan agamanya. Mereka tidak terjebak dalam kapitalisme libidonomi yang membabi buta, seperti yang terlihat saat ini yang melanda hampir seluruh negeri.

Sebagai ilustrasi saja, untuk kita renungi bersama; nilai keperempuanan yang pernah di wujudkan oleh perempuan-perempuan Aceh dari masa kesultanan sampai saat ini. Sudah mulai terkikis oleh ekploitasi libidonomi kapitalisme. Bayangkan tubuh perempuan akan bernilai ekonomis bila dapat diproduksi dan direproduksi sebagai nilai tukar lewat berbagai bahasa tanda (bodily sign), yang dapat menyertai tawaran sebuah komuniti – mobil, motor, lemari es, makanan, sepatu, baju dll. Semakin seksi dan berani cover girl dalam sebuah iklan misalnya, maka nilai tukarnyapun tinggi dalam pasar libido secara ekonomis dengan prinsip capital.

Yang terjadi adalah budaya ketelanjangan, tubuh menjadi obyektifitas ektrem yang meninggalkan batasan moral, batasan social, batasan spiritual. Tidak ada lagi nilai subyektifitas, seperti privasi, rahasia, rasa malu, tabu, risih atau rasa berdosa. Batas-batas antara ruang privat dan ruang public yang selama ini membatasi, kini telah didekonstruksi. Domain privat seperti aurat, kemaluan, organ, tubuh, seks kini dipertontonkan sebagai domain public dan menjadi milik public, jadilah kita sebagai masyarakat cabul – society of the obscene. Richard Harland menyebutnya antisocial yaitu tidak bertanggungjawab secara social.

Celakanya, budaya posmodernisme dekonstruksi mendapat respon yang antusias dari berbagai kalangan dinegeri ini; anak muda (youth culture), dengan seks bebas, pesta seks ABG, seks sekolahan, pelacuran diberbagai sudut kota, narkotika menjadi pelampiasan. Para pengusaha (kapitalis) menggunakan untuk mengikatkan daya tarik komoditi; gadis iklan, foto model, gadis pajangan, prostitusi, gadis pangilan, pantipijat plus-plus.

Media mengunakan untuk meningkatkan daya tarik dan rating. Bahwa sesungguhnya ada berbagai dimensi yang hilang dalam masyarakat kita; dimensi rahasia, rasa malu, tabu, norma, adat, rasa berdosa, dan dimensi spiritual. Digantikan dengan dimensi ketelanjangan, ketidakacuhan, sekularitas, materialistis, individualistis.

Meminjam pendapat Idi Subandi Ibrahim dalam sebuah buku Hegemoni Budaya 1997, bahwa dari berbagai peristiwa yang kita saksikan lewat prisma berita global, ternyata dunia yang kita bayangkan bukanlah wajah dunia yang penuh kedamaian dan tanpa kegelisahan. Tapi, malah kejutan-kejutan yang kita dapatkan.

Fenomena seksualitas, misalnya dalam budaya media merupakan penanda dari kreativitas dekonstruktif pekerja media untuk membentuk citra sosial. Bahwa seksualitas adalah energi tanpa batas dari media yang menutup rasa kebosanan. Dalam sejarah seksualitas manusia, pentabuan merupakan jalan terbaik untuk membungkam seks. Tapi sebagai komoditas, seksualitas adalah energi yang selalu mengalami transformasi terus-menerus dalam historisitas kemanusiaan.

Pilliang dalam Postrealitas 2004, mengungkapkan bahwa fenomena pornogafi, mistik-klenik dan kekerasan dalam prisma kaca televise kita, semakin meluas. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari bagaimana berbagai prinsip, konsep, pandangan dunia (world view), makna dan nilai-nilai yang berasal dari filsafat modernisme bahkan postmodernisme memberi bentuk pada media. Sehingga ia melampaui (hyper)- melampaui batas-batas moral, norma, etika, budaya, adat, tabu dan agama.

Penggunaan tubuh perempuan juga tidak bisa terlepas dari kapitalisme-sebagai sebuah ideology ekonomi, kearah apa yang disebut sebagai libidonomi, yaitu system ekonomi yang didalamnya terjadi eksploitasi secara ekstrim segala potensi libido sebagai komunity, dalam rangka mendapatkan keuntungan maksimal (added value). Ideologi libidonomi kapitalisme menjadikan tubuh dan segala potensi libido-nya- sebagai titik sentral dalam produksi dan reproduksi ekonomi serta pembiakan capital. Bahwa ada sebuah efek sinergis yang kuat antara kapitalisme sebagai system ekonomi politik dan postmodernisme sebagai sebuah system pemikiran budaya menjadi sebuah elemen yang sentral dalam produksi benda-benda komoditi dalam media.

Tubuh perempuan khususnya tidak saja dijadikan komoditi, akan tetapi juga sebagai metakomoditi yaitu komoditi yang digunakan untuk menjual (mengkomunikasikan) komoditi lainnya. Dalam wacana kapitalisme tidak saja dieksploitasi nilai gunanya (use vilue)-pekerja, prostitusi, pelayan; akan tetapi juga nilai tukarnya (exchange vilue) seperti gadis model, gadis peraga, hostess, dan juga nilai tandanya (sign vilue) seperti erotic magazine, erotic art, erotic video, erotic photogafi, erotic film, erotic vcd, majalah porno, video porno, vcd porno, film porno, cyber-porno dan lainnya. Eksploitasi tersebut berlansung mengikuti model-model pembiakan atau pelipatgandaan secara cepat, baik dalam cara, bentuk, varian, teknik, maupun medianya.

Identitas perempuan di negeri ini, mulai runtuh pelan-pelan ketika, yan menjadi figur-figur atau tokoh-tokoh yang dibanggakan adalah tokoh kapitalis; yang dapat merusak nilai-nilai dan tatanan sosial cuktural perempuan. Kembali pada figur perempuan Aceh, ada yang berpendapat bahwa, walaupun peran perempuan Aceh sangat pivotal, tingkat peran, domain dan sasaran peran itu sendiri naik-turun, berbeda dan berubah dari masa ke masa dan antar wilayah satu dengan wilayah lainnya. Suatu kali perempuan Aceh bisa terlihat dominan di bidang hukum atau politik, di waktu lainnya, perempuan Aceh lebih menonjol peran sosialnya. Ini menjelaskan bahwa perempuan Aceh sangat menyatu dan berkembang dengan lingkungannya. Perempuan Aceh tidak hidup dalam ruang kosong tanpa dimensi.

Demikian uniknya posisi perempuan dalam masyarakat Aceh sehingga telah menjadi bahan debat yang bersemangat antara feminis-liberal yang keblinger disatu pihak, dan kalangan konservatif-dogmatif dipihak lainnya. Ironisnya, pelaku dan asal ide pada dua ujung paling ekstrem ini biasanya adalah non-lokal. Perempuan Aceh sendiri jalan terus dengan kiprahnya. Perempuan Aceh sepertinya enggan bermain di tingkat isu, tapi terus berjuang pada aras aksi. Jika melakukan advokasi pun seringkali yang dipilih adalah moderasi.

Perempuan Aceh telah mencoba menghilangkan mitos bahwa wilayah politik dan militer hanya milik laki-laki. Mereka telah membuktikan kepada generasi saat ini, bagimana mereka yang pergi meninggalkan ”rumah yang damai“, untuk berperang dengan mengembara di hutan-hutang yang sunyi, yang berpindah dari satu tempat ke tempat lain, untuk sebuah perjuangan yang hasilnya waktu itu tak pernah pasti.

Mereka inilah yang mempertahankan identitas ke Acehan berupa Islam dan meraka telah menjadi motivator, dan spirit perempuan Aceh sampai dengan saat ini. Ya, memang ketika perang berkecamuk dan konflik menjadi hiasan hidup, Aceh selalu melahirkan perempuan-perempuan tangguh.

Semuanya perang dan konflik yang melanda Aceh ber abad-abad lamanya, boleh dikatakan upaya mempertahankan identitas ke Acehan atau kebangsaan dan keagamaan. Sekali lagi, secara periodic akar masalah dari konflik Aceh adalah karena tidak teraktualisasikannya identitas keacehan dalam wadah nation state yang dijalankan dengan system politik yang mendominasi, sentralistik, militeristik dan otoriter oleh pemerintah pusat.

Dapat dimaklumi juga bahwa mengapa ultimatum perang pemerintah Hindia Belanda pada 26 Maret 1873 disambut dengan perlawanan yang gigih oleh seluruh konponen masyarakat Aceh saat itu. Selama berpuluh-puluh tahun mereka sanggup berperang. Tujuannya amat jelas untuk mempertahankan identitas keacehan yaitu Islam. (Bersambung)

Sumber : kamaruddin-blog.blogspot.com

Tinggalkan komentar